Langsung ke konten utama

Postingan

Always Look at The Bright Side

Always Look at The Bright Side! Ketika kecil dulu, adakah di antara ibu-ibu yang mengkhayalkan pesta pernikahan? Maksud saya, berangan mau menikah pakai baju apa? Lalu mahkotanya seperti apa.... *tunjukjari* Angan-angan ini makin luar biasa ketika saya berkesempatan kerja di majalah gaya hidup, yang menerbitkan edisi khusus pernikahan. Setiap tahun, mempersiapkan edisi khusus ini sangat menyenangkan sekaligus bikin deg-degan. Trend kartu undangan terbaru, dekorasi terbaru, potongan gaun pengantin, karangan bunga, souvenir ucapan terima kasih... lengkap dibahas dan diulas. Karena majalahnya cukup beken, banyak desainer khusus membuatkan untuk difoto di edisi ini. Duuuuhhh seruuuu....  Seringkali yang keluar adalah ide personal, alias ambisi pribadi.... Itulah yang bikin deg-degan, karena serasa saya yang mau kawin hahahaha....  "Saya mau undangan yang kayak gini, mas.... Dikemas di kotak, terus selain undangan, kotaknya diisi bungkusan-bungkusan kecil permen, kacang, potpo
Postingan terbaru

Karena Rindu

Tergesa tapi tertata. Waspada. Dan waspada. Ambil buku. Pura-pura baca.  Bagaimana mungkin Yati akan lupa. Solemah selalu mengulangi kata-kata itu. Waspada, katanya. Harus hati-hati, tidak boleh gegabah. Kecerobohan Yati bisa mencelakakan seluruh anggota.  "Kamu tidak mau, kan, kita semua dipenjara?" tanya Solemah ketus. "Heh! Jawab!" Yati hanya mengangguk. Pelan. Ragu. Nada bicara Solemah selalu tinggi. Dan ia mudah sekali memaki. Yati seringkali takut. Tapi dia tak punya pilihan selain bertahan. Termasuk bertahan dalam diam ketika Solemah memakinya. Sudah untung ia tak pernah ditampar. Tidak seperti Sofi.      "Bloon kamu! Bloon! Kalau dibilangin, nurut! Disuruh cepat ya cepat. Belok ya belok. Jangan maumu sendiri. Bloon!" Sejak sebulan lalu, Yati tinggal bersama Solemah. Di sebuah kontrakan kecil di daerah padat Tangerang Selatan. Pemukiman itu bersebelahan dengan kompleks baru yang dibangun pengembang raksasa. Rumah-rumah bagus dal

The Responsibility

Manusia dewasa hampir setiap detik harus bertarung. Melawan masalah-masalah yang datang. Menghadapi tantangan yang tak habis-habis. Hidup seperti sebuah pertandingan yang tidak ada selesainya. (Taken from The last words of Chrisye by Alberthiene Endah)

Alasan

Selalu ada alasan untuk memelihara hobby. Tapi tentu juga ada alasan tepat menghentikannya. Anita tak beranjak dari depan etalase, sudah lebih dari lima menit. Sepasang sepatu terpajang di situ. Sepatu warna merah, model tertutup, dengan tali-tali. Tinggi haknya sepuluh centimeter. Di kepalanya, Anita sudah membayangkan bahwa ia akan mengenakan sepatu itu dengan tas merah besar tersandang di bahu. Bajunya? Terusan warna khaki. Anita memejamkan mata, agar bayangan itu makin nyata. Uh… cantiknya…. Akhirnya Anita masuk ke dalam butik sepatu itu. Langsung menuju si merah seperti memenuhi panggilan kekasih. Diambilnya sepatu yang kiri. Dari dekat, sepatu itu memang betul-betul cantik. Seperti otomatis, Anita mencopot sepatunya dan mencoba sepatu merah itu. Pas. Anita tidak sempat lagi berpikir, tahu-tahu ia sudah keluar dari butik sepatu itu, membawa si merah, pacar barunya. *** "Hanya untuk sepasang sepatu?" alis Benno naik sebelah. "Ini bukan ‘hanya sepatu'. Ini sepatu

Warna Warni

Ternyata betul juga... baju dalam warna merah bisa menaikkan mood... yang tadinya bete jadi ceria... Ajaib! Dulu, saya adalah orang hitam. Bukan karena saya terlalu sering berjemur di pantai... tetapi ini tentang orientasi saya terhadap warna, terutama pada benda-benda yang saya kenakan. Sepatu, selalu hitam. Tas, hitam. Pakaian, dominan hitam, kadang-kadang saja warna lain, tapi tidak jauh-jauh dari warna gelap seperti biru tua atau coklat tua. Kalau ditanya kenapa, mungkin alasan utama adalah karena badan saya yang tidak bisa dibilang ideal. Jadi, karena di majalah sering disebut bahwa warna hitam melangsingkan, semangatlah saya memuja warna itu. Tentang tas dan sepatu, saya pilih hitam karena lagi-lagi di majalah saya baca bahwa hitam warna netral, yang sesuai dipadankan dengan warna apa pun. Karena hitam adalah warna favorit, saya jadi kurang semangat belanja sepatu, tas, atau pakaian, karena hasilnya cenderung monoton, itu-itu saja, tidak kelihatan jelas beda baju baru baju

Anakku Sayang...

Dari tadi, aku lihat perempuan itu hilir mudik. "Bu… bu… lihat anak baju kuning? Kuncir dua...," ia mencolek lenganku. Terkejut, aku menggeleng. "Bajunya kuning, ada gambar boneka." Aku menggeleng lagi. Wajahnya berubah sendu. "Di mana, ya, dia...," Lalu air matanya tumpah. Menangis meraung-raung. Perempuan itu kehilangan anaknya. Menurut cerita tukang sayur, anaknya dibawa lari oleh suaminya yang kawin lagi. Sejak itu, perempuan itu jadi gila. Tentu saja, kehilangan suami adalah kehilangan separuh jiwa. Ditambah kehilangan anak, artinya hilang lagi separuh nyawa. Tiba-tiba aku kangen sekali pada anakku. "Sudah, Mang. Sudah. Itu saja belanja saya. Berapa semuanya?" "Lho, Bu. Tidak jadi menunggu tukang ayam?" "Tidak, Mang. Saya mau pulang sekarang." Saya pengen cium anak saya, tambahku, dalam hati. (Dimuat pertama kali untuk booklet Walls Best Friend Forever Mom, Good Housekeeping Juli 2009)